enjoy this blog

Kamis, 05 April 2012

Tradisi Biso’ Tian Suku Samawa Semangat untuk Calon Ibu

Dari semua keistimewaan yang dimiliki perempuan, mengandung dan melahirkan merupakan keistimewaan yang paling
tinggi nilainya. Suka cita menjalani masa-masa mengandung adalah kenikmatan tersendiri bagi masing-masing calon
ibu. Bukan hanya calon ibu yang bersuka cita, keluarga besar pun ikut merasakan semaraknya suasana rumah ketika
kehamilan salah satu anggota keluarga
dikabarkan. Utamanya kabar kehamilan anak pertama.
Kehamilan pertama biasanya mendapat perlakuan lebih ketimbang kehamilan kedua dan seterusnya, baik dari ibu si
calon bayi maupun keluarga. Salah satu bentuk perlakuan khusus tersebut adalah dengan melakukan tradisi
Biso’ tian. Biso’ tian merupakan tradisi tujuh bulanan suku Samawa. Di Bima tujuh bulan disebut, Kiri Loko
sedangkan di Lombok juga secara umum disebut Biso’ Tian dan ada pula yang menyebutnya Beretes.

Biso’ tian bertujuan sebagai ungkapan kebahagiaan menanti bayi pertama dari seorang ibu. Selain itu,
meramaikan acara tujuh bulanan khas Sumbawa ini juga untuk memberikan kekuatan dan semangat kepada calon ibu
yang baru pertama kali akan mengalami proses luar biasa dalam hidupnya, yaitu melahirkan.
“Biso’ tian juga dilakukan sekaligus sebagai acara syukuran atas kehamilan tersebut dan ungkapan suka
cita bagi seluruh keluarga besar calon bayi pertama dari seorang ibu tersebut,” ungkap Muhadli, budayawan
Samawa di Taliwang Sumbawa Barat. Dalam tradisi Biso’ tian, berbagi rezeki pun menyertainya.
Dipilihnya bulan ketujuh untuk melaksanakan tradisi ini, lebih karena bayi dalam kandungan calon ibu telah utuh
menjadi seorang manusia yang tengah berkembang semakin matang dan siap untuk dilahirkan.
Dalam prosesi Biso’ tian, terdapat banyak sekali simbol dan makna kehidupan pada setiap tahapan prosesnya.
Kain berwarna-warni tujuh lapis dipakai sebagai alas tidur oleh ibu hamil selama prosesi berlangsung. Tujuh lapis kain ini
melambangkan bahwa kehidupan manusia itu betapa tinggi nilainya serupa tujuh lapis bumi dan langit yang kerap
diumpamakan terhadap alam semesta ini. Sebuah
pegu (wadah khas Samawa terbuat dari kuningan) berisi beras berwarna-warni; hitam, hijau, merah muda dan putih.
Yang berwarna putih adalah khusus dibuat dari padi yang disangrai sampai mekar. “Beras warna-warni sebagai
pelengkap prosesi ini merupakan lambang kemakmuran yang diharapkan dari sang bayi yang akan lahir,” kata
Hasanuddin atau yang dikenal dengan Ace, budayawan di Sumbawa.
Sebuah lilin yang diletakkan di atas sebutir kelapa, sebagai lambang harapan si bayi akan menjalani kehidupan di jalan
yang benar dan lurus yang disimbolkan dengan lilin yang menyala.
Di sisi lain tempat prosesi berlangsung, terdapat sebuah wadah batu ukuran besar yang disebut Teleku’ Batu
berisi air yang di dalamnya terdapat bermacam-macam kembang. Air kembang dari wadah batu ini nantinya akan
dipakai untuk memandikan calon ibu. Mandi kembang bagi calon ibu, semacam sakralisasi diri untuk menghadapi saatsaat
menakjubkan dalam hidupnya ketika melahirkan nantinya. Yang tidak kalah pentingnya adalah setumpuk uang
receh atau logam yang sengaja disiapkan. Jumlah dan pecahannya, tidak terbatas, tergantung kemampuan yang
berhajat. Uang logam inilah yang paling ditunggu-tunggu oleh semua ibu-ibu yang hadir dalam acara tersebut
Biso’ tian.
Dalam setiap acara Biso’ tian di Sumbawa Barat, selalu disertai dengan makan rujak bersama bagi seluruh
undangan yang hadir. Ada kebersamaan secara tidak langsung yang dibangun dalam membuat dan makan rujak
bersama ini. Jadi, bukan hanya calon ibu yang biasanya saat ngidam saja yang suka makan rujak, tapi seluruh
undangan seolah-olah ikut merasakan seperti apa yang dirasakan oleh calon ibu tersebut. Dalam tiap upacara adat
Biso’ tian, seorang yang disebut dengan Sandro Tamang (dukun beranak), memegang peranan yang sangat
penting dalam prosesi ini. Sandro Tamang adalah seorang yang diberi kepercayaan oleh masyarakat adat Samawa
menjadi ”sutradara” acara ini karena memiliki keahlian secara turun temurun.
Di atas alas yang disiapkan khusus, calon ibu tidur dengan nyaman. Alas khusus ini terdiri dari selembar tikar yang
dibuat secara khusus juga, orang Sumbawa menyebutnya Samparumpu. Tikar ini adalah tikar khas masyarakat adat
Samawa yang diyakini mampu menangkal hal-hal negatif yang mengarah pada calon ibu dan bayinya. Untuk
melindunginya secara supranatural dari kemungkinan-kemungkinan niat jahat di alam lain, kata Bahiyah, salah seorang
Sandro Tamang di Taliwang, Sumbawa Barat
Tujuh orang perempuan akan mengambil peran saat acara inti Biso’ tian ini. Selain Sandro Tamang, terdapat
enam orang lainnya yang akan ikut terlibat dalam prosesi inti Biso’ tian yang disebut Mengas Mentar
(mengangkat perut calon ibu menggunakan kain kemudian digoyangkan secara lembut). Enam orang lainnya adalah
perempuan yang diteladani di kampung tersebut.
Proses Mengas Mentar memberi gambaran secara alami, seperti ketika sebuah kotak berisi sesuatu yang penuh namun
tidak sesak, ketika isinya tersebut akan dikeluarkan, maka untuk memudahkan mengeluarkan isi tersebut, biasanya akan
digoyang-goyangkan terlebih dahulu agar benda yang berada di dalam kotak tidak lengket pada dinding-dinding kotak
tersebut sehingga mudah dikeluarkan.
Setelah ini selesai, ibu kemudian perlahan menuju pintu rumah di mana di halaman rumah telah dipenuhi undangan.
Saat inilah acara yang paling ditunggu oleh undangan yang lebih banyak para ibu, berebut uang logam. Membuang kain dan uang logam ini memiliki makna tersendiri. Membuang kain yang dipakai mengas mentar secara simbolik ini
bermakna bahwa si ibu tengah menghindari hal-hal buruk yang akan terjadi pada dirinya dan bayi yang dikandungnya.
Agar segala proses persalinan berjalan lancar seperti yang diharapkan. Sedangkan menyebar uang logam adalah
simbol berbagi rezeki. Mereka yang berdagang biasanya akan menyimpan uang logam ini sebagai penglaris
dagangannya. Harapannya, orang akan ramai belanja dagangannya seramai dan seriuh mereka yang berebut uang
logam dalam acara ini.
Pada bagian akhir upacara ini, digelar acara makan rujak bersama. Calon ibu dan calon ayah (suami istri) akan
mendatangi para tamu undangan untuk mengantarkan rujak. “Bermacam-macam buah dengan rasa yang
beragam, manis, asin, asam dan pahit yang menjadi bahan rujak tersebut bukan sekadar pelengkap acara melainkan
simbol pertemuan rasa orang tua calon bayi dengan masyarakat yang kompleks dalam kehidupan
bermasyarakatnya,” kata Muhadli. --nik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar